Jumat, 07 Mei 2010

BLANCO SANG JUARA

Blanco nama pemuda kecil itu. Tinggi badannya rata-rata anak Indonesia yang tengah berumur 12 tahun. Dia hidup bersama pamannya di sebuah kota. Keduanya adalah pekerja keras. Tuntutan hidup telah membuat mereka tak melewatkan kesempatan yang teramat bagus agar mereka bisa terus bertahan hidup. Blanco bukanlah anak dari kalangan orang berada. Kedua orang tuanya telah lama meninggal dunia di saat dia masih berumur tujuh tahun. Tiap hari ia harus berjuang keras agar terus mampu melanjutkan sekolah, sebab pamannya telah menekankan betapa pentingnya pendidikan bagi kehidupan Blanco kelak meski sang paman sendiri tak pernah mengenyam bangku sekolah.

Selepas pulang sekolah, Blanco kerap menjadi loper koran, sedangkan pamannya menjadi buruh pada pabrik kayu dengan penghasilan yang terbilang tidaklah seberapa. Namun, keduanya merasa bahagia. Bahkan, walaupun lelaki, Blanco sangat pandai memasak. Sang paman memanfaatkan lahan yang tidak begitu luas di samping rumahnya untuk menanam sayuran dan bumbu dapur lainnya.

Dari pekerjaannya sebagai loper koran, Blanco mendapatkan banyak informasi sebab ia selalu mencuri-curi kesempatan untuk terus mengikuti berita hangat di negeri ini melalui koran yang dibagikan khusus kepada dirinya oleh sang pemilik agen. Pak Tomy, pemilik agen, sangatlah terkesan dengan Blanco karena pemuda kecil ini sangat rajin, jujur, dan tidak pernah sedikitpun mengeluh. Bahkan beliau senantiasa memuji Blanco karena anak yang satu ini tergolong cerdas. Oleh karena itu, Pak Tomy selalu menghadiahkan satu koran di samping ‘gaji’ untuknya.

“Bapak lihat kamu sangat rajin, jujur, dan tak pernah mengeluh. Ambillah satu koran agar kamu senantiasa memperoleh informasi ter up-to-date”, kata Pak Tomy dengan penuh kelembutan.

“Terima kasih, Pak. Semoga Allah senantiasa membalas budi baik Bapak,” sahut Blanco.

Suatu hari, sambil menjajakan korannya, Blanco sempat membaca berita bahwa ada sekelompok warga tinggal di bawah naungan sampah yang begitu menggunung. Entah berapa meter tingginya. Ketika hendak direlokasi, warga menolak dengan alasan hanya di situlah mereka bisa mengais rezeki. Tak berselang beberapa hari dari tawaran itu, terjadi bencana yang benar-benar membuat warga tersebut kehilangan kerabat dan rumah-rumah reyot mereka. Bukit sampah longsor dan menimbun rumah-rumah warga di pagi buta tatkala semua orang masih terlelap dalam mimpi. Blanco terhenyak sesaat, kemudian menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Dia merasa sangat prihatin dengan keadaan mereka.

“Sampah ternyata telah membawa malapetaka. Seandainya saja mereka sedikit sadar kalau sampah, terutama plastik, akan sangat merugikan, tentu mereka tidak akan bertindak sebodoh ini ketika ditawari akan direlokasi”, gumamnya.

Setelah kejadian itu, di sela-sela kegiatan sekolah dan loper koran, Blanco memutar otak bagaimana caranya agar warga sekitar sadar akan bahaya sampah. Dia mulai menyisihkan sebagian kecil hasil kerja kerasnya untuk menggunakan jasa internet yang hanya dua ribu rupiah di warnet seberang sekolahnya. Dia menggali informasi dari sana tentang berbagai hal yang bisa dilakukan guna meminimalisasi kuantitas sampah atau limbah. Setelah Blanco mendapatkan beberapa banyak, dia mencoba mempraktikkan, di antaranya melalui kerajinan tangan. Ia mengajak pamannya juga dalam menyalurkan gagasan-gagasan kreatifnya tersebut. Sang paman pun tak keberatan. Bahkan beliau rela membawakan potongan-potongan kayu yang sudah dianggap limbah. Tentu saja dengan seijin sang pemilik pabrik. Di samping kayu, Blanco juga mengumpulkan plastik-plastik bungkus makanan ringan yang masih cukup bagus, botol minuman, bungkus permen, dan lain-lain. Ada juga kaleng-kaleng minuman bersoda, kertas karton tempat coklat, lem, obat nyamuk, roti, make up…begitu bejibun. Dia mulai merangkainya dalam ide-ide yang sangat cemerlang. Alhasil, terciptalah vas bunga, lampion, tempat alat tulis, kartu ucapan selamat, botol pasir warna, frame foto, dan masih banyak lagi kreasi yang ditelorkan oleh dua orang ini. Semua benda bekas tersebut disulap menjadi barang dengan daya guna baru.

Kemudian Blanco mengunjungi Pak Tomy dan menjelaskan ide yang diperolehnya. Ternyata Pak Tomy yang kaya-raya dan baik ini sangat mendukung gagasan Blanco. Bahkan beliau memberikan bantuan materi kepada Blanco untuk mengembangkan kegiatannya tersebut. Blanco sangat berterima kasih kepada Allah yang telah mempertemukannya dengan orang sebaik Pak Tomy.

Pada akhirnya, ide Blanco yang sangat brilian ini berkembang menjadi sebuah bisnis yang bisa menghidupi dirinya dan sang paman. Bahkan ia mampu melanjutkan ke jenjang pendidikan pada lingkup sekolah terfavorit di kotanya. Kini Blanco bukan loper koran lagi yang mengenakan pakaian lusuh. Namun, ia tidak lupa akan orang-orang di sekitarnya. Dia merangkul anak-anak putus sekolah dan kehilangan pekerjaan untuk turut serta bergabung dalam misinya menyelamatkan bumi dari sampah. Ia pun sering dipanggil di berbagai instansi untuk mengisi sesi kewirausahaan. Dia sangat senang menjalani profesi barunya, bukan semata-mata hal tersebut bisa mendatangkan keuntungan finansial berlipat, tetapi lebih dari itu. Ia merasa bahwa dirinya hidup di era yang menuntut ia untuk mampu membuat udara di Indonesia tak berkurang kesejukannya hanya karena limbah yang bertebaran di seantero negeri. Paling tidak, apa yang dilakukan dia kini adalah sebagai darma baktinya pada Indonesia. “Save our earth!” Demikianlah yang sering digemborkannya.

Rembang, Thursday, May 06, 2010 [10.00 pm]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut